oleh Fakhrul Islam


Iftitah
Kenyataan membuktikan bahwa Media masa pada akhir-akhir ini disesaki oleh berita-berita penting seputar pemikiran, baik dalam persi agama ataupun politik-sosial, dari situ mulai bermunculan wacana-wacana dengan berbagai corak warna yang semakin menambah halaman portal. Wacana tersebut memaksa pembaca untuk mengorek kembali buku-buku sejarah yang telah lapuk berubah warna, sehingga dari sejarah tersebut akan didapati kebijaksanaan dalam menilai sesuatu.
Wacana pada tulisan ini tidak terlepas dari kendali sejarah perjalanan Islam , yang sering dinobatkan dengan “Ahlul Bait” yang memiliki keunikan tersendiri dari berbagai sisinya, sehingga sejarah mengupas kembali dengan penuh seksama dan dibumbui dengan bukti falit tentang perjalanan “Identifikasi Metode Pemikiran Syiah”.

Keberadaan Syiah memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam, dikarenakan Syiah telah muncul dan berkembang pada masa periode pertama Islam, yang pada hakekatnya Syiah dimutlakkan sebagai pengikut risalah Rasul SAW dan Ahlu bail beliau, namun di akhir perjalanannya Syiah menjadi aliran (Madzhab) sempalan dalam Islam yang memiliki corak pandang  berbeda dengan Madzhab yang semisal dengannya, terutama dalam porsi per-politikan, namun juga memiliki titik kesepakatan dalam prinsip dasar keagamaan.


Definisi Syiah
Jika ditilik dari segi makna, Syiah pada mulanya mencakup arti “ suatu kelompok yang memiliki persamaan persepsi (Tujuan sama) guna mengadakan konfrontasi atas golongan lain”. Namun beriring perputaran sejarah, istilah “syiah” berkembang dan menjadi istilah khusus untuk suatu golongan (Madzhab), yang akhirnya memunculkan makna: suatu kelompok yang meyakini kepimimpinan Ali.ra dan anak cucu serta pengikut beliau setelah Rasul SAW.
lebih spesifik ibnu khaldun dalam karya monumentalnya “al-Muqadimah Ibn Khaldun” menerjemahkan Syiah sebagai golongan pengikut setia Ali.ra dan anak cucu beliau.  
Begitupun halnya al-Syahrustan juga menerangkan dalam kitabnya “al-Milal wa al-Nihal” bahwa Syiah adalah suatu golongan yang memihak kepada Ali.ra, serta meyakini bahwa kepemimpinan adalah hasil ketetapan mutlak dari wasiat Rasul. Yang mendasar dari definisi diatas adalah bahwa Syiah yang berkembang sekarang merupakan suatu bentuk Madzhab yang bersikap fanatik terhadap kepemimpinan Ali.ra, yang berujung pada pensifatan Syiah sebagai dogma suatu golongan yang memiliki pemahaman lain dengan golongan keagamaan lainnya dalam Islam.

Sejarah perkembangan Syiah
Jika dikatakan Syiah sebagai bagian dari aliran Islam, ini berarti posisinya sejajar dengan aliran lain yang masing-masing memiliki peran dalam sejarah Islam. di Dalam buku “awamil dzuhur al-Firaq fi al-Fikr al-Islam”[1] dijelaskan bahwa Syiah pada awal mula perkembangannya merupakan aliran spiritual-politik pada masa dinasti umaiyah dan Abbasiyah, dengan gamblang Syiah (pendukung Ali) telah berkecimpung dalam lega politik, sehingga daripada itu  mulailah orang-orang asing bergabung bersama aliran ini dan setia menyokong visi dan misi Syiah, hingga akhirnya Syiah disambut hangat oleh banyak orang yang kemudian tersebar diberbagai daerah kekuasaan.

Hingga sekarang aliran ini (Syiah) menambah porsi kewilayahan dalam Agama serta dijadikan sebagai sistem pemerintahan. Hal ini menandakan bahwa keberadaan serta wujud Syiah tidak dapat dipungkiri.
Dalam perkembangannya Syiah terbagi kedalam beberapa golongan[2], namun yang sekarang banyak dianut terdapat tiga golongan besar:
  1. Zaidiyah
Madzhab “Zaidiyah” dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.ra, golongan ini berkembang pesat di daerah Yaman, sebagai keyakinan  mereka bahwa kepemimpinan adalah hanya hak penuh bagi  keturunan Ali bin Abi Thalib r.a beserta keturunan beliau. hanya saja mereka memiliki persepsi lain yang menyatakan bahwa pemimpin boleh dua orang sekaligus dalam satu masa! mereka adalah golongan syi’ah yang paling dekat dengan pemahamam Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah.[3]
  1. Isma’iliyah
(Mazhab Tujuh Imam) dinisbatkan kepada Ismail bin Ja’far ash-Shidiq bin Muhammad baqir. Mereka berkeyakinan bahwa imam itu hanya berjumlah tujuh orang, dan imam yang terakhir adalah Isma’il bin Ja’far. Mereka mempunyai dua pemahaman; pertama: al-Buhira yaitu pemahamam yang mengatakan bahwa imam terakhir adalah Sutan al-Buhira, pemahaman ini berkembang di kalangan syi’ah yang berada di negara India dan Yaman. Kedua : al-Najariah[4] yaitu kelompok yang mengatakan bahwa imam terakhir adalah Karim Khan, dan mereka ini juga tersebar di India, Pakistan dan Afrika sebelah timur.
  1. Imamiyah itsna asyariyah [5]                                                                                                                                                    Golongan ini memiliki banyak pengikut, jika dikalkulakisan hingga mencapai 70 juta orang yang tersebar di berbagai Negara, diantaranya Iran, Irak, Pakistan, India, Rusia, dan juga tersebar dikawasan Siria, dan Yaman.
Golongan ketiga ini (Syiah Imamiyah) merupakan aliran yang terdiri dari 12 Imam, berawal dari amirul mukminin Ali bin Abi Thalib.ra dan berakhir pada Abul qasim Muhammad bin Hasan (al-Mahdi). Golongan ini dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq, yang menyatakan keimaman Ali bin Abi Thalib r.a yang kemudian di gantikan keturunannya secara turun-temurun, mereka berpendapat bahwa Ja’far al-Shadiq tidak pernah menyerahkan keimaman kepada puteranya yang tertua (Ismail), karena dia meninggal sebelum ayahnya (Ja’far al-Shadiq) meninggal. namun jabatan itu dipangkukan kepada puteranya yang bernama Musa al-Kadzimi yang memegang jabatan selama 30 tahun.
Imam ke-sebelas dari golongan itsna ‘asyariyah ini dijabat oleh al-Hasan bin Ali al-Asykari dan puteranya Muhammad bin Hasan yang dianggap sebagai imam terakhir, imam yang ke-duabelas ini dengan laqab al-Hadi, al-Qaim, al-Hujjah, digelari pula dengan al-Muntazhar (yang ditunggu).[6]
                           

Landasan Pemikiran Syiah
Jika diteliti secara spesifik, maka akan diketahui bahwa Syiah memiliki orientasi yang membedakan dengan aliensi lain. Orientasi tersebut yang selalu didengungkan bahkan diagungkan sehingga menjadikan hal tersebut seakan berbeda dengan yang lainnya! Keluar dari tujuan kaum Syiah, bahwa sesungguhnya orientasi tersebut mengakar sebagai pemikiran yang terus menjalar. Jauh dari pada itu, pemikiran Syiah muncul dari permasalahan Furu’ (persoalan non-ushul) dalam agama, namun kemudian para pengikut akhir-akhir ini berusaha menjadikan Syiah sebagai bentuk aliran baru. Sehingga perbedaan yang muncul mulai merembet pada persoalan Ushuliah.
Pemikiran ini yang sesungguhnya telah diusung oleh Abdullah bin Saba’[7] yang perannya tidak dapat dinafikan dari sejarah, walaupun dari kalangan Syiah Kontemporer dan Orientalis menganggapnya sebagai kartun (mitos/cerita khayalan) dan bentuk rekayasa Muslim yang tidak ada kenyataannya.
Ibn saba’ merangkul dua orientasi utama :
1.        Ajakan terhadap Reversi (kedatangan kembali) Ali.ra ke dunia setelah wafatnya dan tentang kembalinya Rasulullah SAW, dengan berdalihkan bahwa;  “Adalah sangat mengherankan jika orang menganggap bahwa Isa.as kelak akan kembali, namun mendustakan kembalinya Muhammad SAW!. Sedang Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah SWT  yang mewajibkan (pelaksanaan hukum-hukum) Al-Qur’an atasmu, pasti akan mengembalikanmu ke tempat kembali.” Maka dengan demikian, Muhammad lebih berhak untuk kembali ke dunia daripada Isa.as kemudian dia (Ibn Saba’) meletakkan dasar-dasar raj’ah (kehidupan kembali setelah mati) bagi mereka.[8]
2.        Ajakannya kepada keyakinan bahwa setiap kepemimpinan adalah Wasiat, dan kepemimpinan Ali.ra adalah wasiat Rasulullah SAW untuk beliau, yang berarti bahwa Ali adalah pengganti Rasul atas ummatnya setelah beliau berdasarkan nash. 

Metode Pemikiran Syiah
Kecintaan dan ketulusan kaum Syiah terhadap Alhul Bait (Ali.ra dan Fatimah) yang berlebih-lebihan hingga menjadikan kecintaan tersebut sebagai dogma yang selalu didengungkan oleh kaumnya, dan juga timbulnya cultural (adat istiadat) kaum Syiah (yang dianggap Nyleneh oleh sebagian golongan). dua jalur ini yang nantinya membuka tabir metode pemikiran Syiah yang menjadi jalan utama dan standar bagi kehidupan mereka.
Jika ditelusuri lebih mendalam metode pemikiran Syiah terbagi atas tiga landasan penting; akidah, syariah, dan adat istiadat, ulasan dari ketiga landasan tersebut adalah:.

1.Pemikiran dari sudut akidah

I. Kepemimpinan adalah wasiat secara Nash
dalam Kitab Aqaid al-Imamiah oleh ulama Syiah  Syeikh Muhammad Ridha al-Muzaffar hal.136 dinyatakan bahwa Syiah mempercayai bahwa kepemimpinan adalah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui lisan RasulNya, dengan menyatakan:
Kami (Syiah) berkeyakinan bahwa kekhalifahan para Nabi tidak berlaku melainkan dengan nash dari Allah S. W. T atau lisan Rasul atau lisan imam yang dilantik secara nash dalam menentukan imam sesudahnya. Hukum Imamah sama seperti Nabi.kebijakan hokum hanya ditentukan oleh penerima Wasiat (dalam hal ini Ali.rs),karena dia telah mempunyai kapasitas untuk menanggung tonggak kepamimpinan. Kami mempercayai bahwa Nabi s.a.w. pernah menentukan khalifahnya dan imam di muka bumi ini selepasnya. Lalu baginda menentukan sepupunya Ali bin Abi Talib sebagai Amirul Mukmin pemegang amanah terhadap wahyu dan imam kepada semua makhluk di muka bumi ini. Beliau telah melantiknya dan mengambil baiah (janji setia) kepadanya untuk memimpin umat Islam, Ialu beliau bersabda: " Ketahuilah bahwa siapa yang aku telah menjadikannya pemimpin maka Al-ilah yang menjadi leadernya. yaTuhan, baiatlalah orang yang menjadikan Ali sebagai pemimpin dan musuhilah orang yang memusuhinya dan tolonglah orang yang menolongnya dan hinakanlah orang yang menghinanya. Berilah kebenaran kepada Ali di mana ia berada.”
Syiah mempercayai wasiat Rasulullah s.a.w. ialah untuk kepemimpinan Ali.ra Kemudian beliau mewasiatkannya kepada anaknya Hasan kemudian Husain hingga sampai kepada Imam DuaBelas Muhammad bin Hasan (al-Mahdi al-Muntazhar). Hal tersebut merupakan sunatullah kepada para Nabi utusanNya bermula Nabi Adam.as sehinggalah kepada Nabi terakhir (Muhammad SAW) yang kemudian risalah kenabian tersebut diwasiatkan kepada ahlul bait (Ali.ra dan keturunannya).

    II. Imam memiliki sifat ma’shum (terjaga dari kesalahan)
        dalam kitab al-Syiah Fi al-Mizan hal. 38 diterangkan bahwa Syiah meyakini bahwa para imam adalah ma’shum (terjaga) dari segala kesalahan dan dosa (dosa besar dan kecil ), mulai dari sejak lahir hingga wafat mereka (Imam) tidak pernah melakukan dosa. Syiah juga memposisikan para Imam sejajar dengan para Nabi yang bertugas menjaga kemurnian syariat dan melaksanakan hukum Allah di muka bumi. Keyakinan tersebut tertuang dalam pengakuan:
“ Ishmah ialah suatu kekuatan yang membentengi seseorang dari perbuatan dosa (maksiat dan kesalahan), dimana ia tidak melalaikan yang wajib dan tidak  melakukan yang haram sekalipun ia mampu untuk itu, jika tidak bersifat demikian niscaya ia tidak berhak mendapat pujian dan balasan. Dengan kata lain, yang dimaksudkan dengan ma’shum itu ialah mencapai puncak ketaqwaan yang tidak dicapai oleh syahwat dan nafsu. Kemudian ia telah mencapai ilmu syariat dan hukum-hukum yang sampai kepada martabat ulya (tinggi) hingga tidak melakukan kesalahan sama sekali. Syiah Imamiah mensyaratkan ketentuan tersebut kepada imam-imam secara menyeluruh sebagaimana disyaratkan kepada para wali. Syeikh Mufid[9] berkata di dalam kitab Awail al-Maqalat bab perbincangan mengenai Imam-imam itu ma’shum; Imam-imam yang memiliki sifat-sifat ma’shum itu memiliki posisi yang sejajar dengan para Nabi dalam melaksanakan hukum-hukum dan menerapkan syariat serta membina masyarakat. Mereka adalah ma’shum sebagaimana Nabi yang bersifat ma’shum yang tidak melakukan dosa besar dan kecil, mereka juga tidak bersifat pelupa terhadap perkara ke-agamaan,  Sifat ini yangb diyakini oleh mayoritas mazhab Syiah Imamiah”.

III. al-Bada’ (Ilmu Allah bersifat revisit sesuai dengan fenomena)
al-Tabatabi dalam kitabnya al-Usul Min al-Kafi menerangkan bahwa al-Bada’ adalah munculnya sesuatu dari ketiadaan (tersembunyi), Syiah berkeyakinan bahwa Allah dapat mengetahui sesuatu perkara setelah terjadinya suatu peristiwa yang sebelumnya dianggap tersembunyi daripada-Nya. Perkara ini jelas menganggap Allah itu jahil (tidak meliputi Ilmu atas perkara yang akan terjadi).
Keyakinan itu tersimpul dalam ungkapan:
al-Bada ialah lahirnya perbuatan yang tersembunyi disebabkan tersembunyi ilmu (sebelum kejadian). maka kami maksudkan sebagai lahirnya setiap perbuatan yang sebelumnya tersembunyi (dari ilmu Allah SWT)".
Dalam pada itu Syiah beranggapan bahwa ilmu Tuhan akan berubah dan bersesuaian (bersifat revisit) sesuai dengan fenomena kehidupan manusia,dan Tuhan akan merubah kehendak-Nya terhadap sesuatu perkara sesuai dengan keadaan yang berlaku. 

IV. ar-Raj’ah (hadirnya kembali Imam Mahdi)
dalam Kitab Aqaid al-Imamiah hal.83 oleh Syekh Muhammad Ridha al-Muzaffar menerangkan sesungguhnya  Syiah mempercayai bahwa Allah SWT akan menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati  ke dunia bersama Imam Mahdi untuk memfonis orang-orang yang telah melakukan kedzaliman, termasuk di dalamnya  para sahabat Rasulullah seperti Saidina Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Hafshah, Muawiyah dan lain-lain, Fakta ini tertuang pada penjelasan:

"Sesungguhnya pendapat Syiah Imamiah tentang Raj’ah ialah kerana mereka mengambil dari para Ahli Bait a.s., dimana Allah S WT akan mengembalikan suatu kaum yang telah mati ke dunia,  Ialu sebagian daripada golongan memuliakan satu pihak dan menghina satu pihak yang lain dan ia menunjukkan mana golongan yang benar dan mana golongan yang salah serta menunjukkan golongan yang melakukan kedzaliman. Peristiwa ini berlaku ketika bangunnya Mahdi keluarga Nabi Muhammad SAW dan tidak kembali ke dunia ini kecuali orang yang tinggi derajat imannya ataupun orang yang paling jahat. Kemudian mereka akan mati semula. Begitulah juga dengan orang-orang yang selepasnya sehinggalah dibangkitkan semula dan mereka akan menerima pahala atau siksaan."[10]

    2. Pemikiran dari sudut Syariah

1.   Menafikan Ijma’ Ulama
dalam kitab Mukhtasar al-Tuhfah al-lthna Asyariyyah, hal 51 dinyatakan bahwa  Syiah tidak menerima pemakaian ijmak ulama sebagai landasan syariat, sebagai bukti  mereka menolak (tidak menerima) pelantikan khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman, sehingga mereka berpegang kepada pendapat-pendapat Imam , kerana ijma’ mereka ada berujung kesalahan, sedangkan pendapat Imam adalah ma’shum (benar). Hal ini tercantum dalam pernyataan:
Adapun ijma’ ialah bentuk kesalahan, kerana ia merupakan hujah (Landasan) yang tidak ada asalnya. ini disebabkan adanya keputusan imam ma’shum terkandung di dalamnya. Perkara ini (Syariat) adalah berdasarkan ketetapan imam ma’shum dan bukan atas ijma’. Kema’shuman imam dan pelantikan mereka adalah sama dengan perkhabaran imam itu senditi atau perkhabaran imam ma’shum yang lain. Sesungguhnya perkara  ini telah jelas dan begitulah ijma’ generasi Islam  pertama dan kedua sebelum munculnya perselisihan di kalangan umat, juga juga disangsikan, kerana mereka telah berijma’ atas perlantikan Abu Bakar sebagai Khalifah, pengharaman kawin mut'ah, penyelewengkan al-Quran, mencegah Nabi dari menerima pusaka, merampas tebusan dari perawan dan selanjutnya terjadi perselisihan dan perpecahan di kalangan mereka, bagaimana ijma’ dijadikan sebagai hujah, apalagi dalam permasalah khilafah!!”

II . Menolak penggunaan Qiyas
Dalam hal lain diterangkan dalam kitab Aslu al-Syiah Wa Usuluha hal 149 bahwa Syiah menolak pemakaian Qiyas dalam menentukan hukum Syar’i, karena Qiyas akan merubah dan merusak hukum asli (agama), hal ini tersurat dalam pernyataan:
bahawasanya Syiah Imamiah tidak beramal dengan Qyias dan sesungguhnya ia telah menjadi ketetapan di sisi imam-imam mereka. Sesungguhnya syariat apabila diqiyaskan akan merusak agama dan akan menjadikan kerusakan amal dengan menggunakan qias itu.”

III. Pembolehan nikah Mut’ah
dalam Kitab al-Nihayah Fi Mujarrad al-Fiqh Wa al-Fatawa hal 489 dinyatakan bahwa Syiah masih menyemai amalan nikah Mut'ah yang pernah dibolehkan pada permulaan Islam dalam keadaan dan masa tertentu. Mereka masih mengamalkan nikah ini sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menolak pemansukhan syariat tersebut (nikah mut’ah). Mereka berpendapat bahwa nikah Mut'ah adalah diharuskan di dalam syariat Islam. Pernyataan tersebut adalah:
Nikah mutah adalah dibolehkan dalam syariat Islam sebagaimana kami menyebutnya dari akad seseorang lelaki kepada seorang perempuan dengan tempo waktu tertentu  dan dengan mahar tertentu. syarat-syarati nikah Mut'ah ialah akad, tempo dan mahar. Dalam nikah Mut'ah ditetapkan tempo tertentu yang disepakati oleh keduanya, dengan tempo setahun atau sebulan atau sehari.”[11]
  1. Pemikiran dari sudut adat istiadat
Adat istiadat yang dimaksudkan adalah suatu ritual yang dilakukan oleh golongan Syiah sebagai aplikasi atas dogma yang mereka yakini. Secara tidak langsung ritual tersebut tidak diterima oleh golongan lain. Terdapat beberapa ritual yang masih ramai di rayakan oleh mereka, diantara ritual tersebut adalah:

I.   Berziarah ke makam Husain[12]
Syiah mendakwakan bahwa barang siapa yang mengunjungi makam Husain maka dia akan masuk surga, seperti yang tertera dalam kitab al-Irsyad hal 252 yang menyatakan:
barangsiapa  yang menziarahi makam Husain setelah wafatnya niscaya dia akan masuk surga"

II.       Upacara 10 muharram (hari asyura)
Dijelaskan bahwa Golongan Syiah mengadakan upacara pemukulan dada dan menyiksa tubuh mereka pada ssaat 10 Muharram sebagai tanda kesedihan atas kematian  Husain.dalam ritualnya ada diantara mereka yang memukul dengan rantai besi ke atas bahu, mengetuk kepala dengan pedang dan menyiksa badan pada hari kesepuluh Muharam sebagai hari berkabung atas kematian Husain. Perkara ini dinyatakan dalam Kitab al-Syiah Wa al-Tashih al-Shira', Baina al-Syiah Wa al-Tasyayyu' hal. 98:
Ritual yang masyhur ini sentiasa diadakan sebagai satu bagian dari musim-musim perayaan atas  kematian syahid Saidina Husain. Amalan ini berlaku di Iran, Pakistan, India dan sebagian di negara Libanon pada setiap tahun. Tragedy tersebut menjadikan  pertumpahan darah antara Syiah dan Ahli Sunnah di beberapa tempat. di Pakistan menyebabkan ratusan nyawa yang tidak bersalah menjadi korban atas  pertikaian tersebut. Syiah mengadakan perayaan pada hari Asyura semenjak dahulu. Selain daripada itu bacaan ziarah yang banyak disenandungkan dari para pujangga yang membacakan beberapa qasidah di hadapan kubur, semisal penyair Arab yang bernama Syarif Reda saat menyampaikan qasidahnya yang mulia di hadapan kubur Husain yang diawali dengan senandung "Karbala sentiasa kamu berada di dalam kesusahan…hingga sampai pada bait:
"Berapa ramai orangyang telah berperang di atas tanah ini, sehingga darah  mengalir berkucuran dan mereka telah terbunuh." Penyair tersebut menangis dan ritual sebagai akibat penyesalan.yang pastinya  bahwa Imam-imam Syiah merayakan hari kesepuluh Muharram, mereka duduk di rumah-rumah dengan menerima ucapan ta’ziah dari orang-orang yang memberikan ta’ziah dan mereka mengadakan majlis jamuan pada hari itu. Imam mereka memberi khutbah dan qasidah untuk mengingat syahidnya Saidina Husain dan Ahli Bait Rasulullah SAW.

III.  Jama’ shalat dalam keadaan mukim
Berasas pada keputusan imam ma’shum pelaksanaan Shalat lima (Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya’) dilakukan pada tiga waktu; Subuh, Zhuhur dan Ashar di waktu Ashar, Maghrib dan Isya’ di waktu Isya’. Jama’ shalat tersebut dilakukaan baik pada waktu bepergian ataupun ketika Mukim. Perkara ini dinyatakan dalam kitab Fiqih Lima Mazhab di antara Nas dan Ijtihad” hal 36 yang menerangkan:
Ja'fari: Harus menjamakkan diantara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya' baik dilakukan pada saat musafir ataupun hadir tanpa  sebab apapun”.

IV.  Imamah dan Khilafah bagian dari rukun islam
Syiah mendakwakan bahwa Imamah adalah bagian dari rukun Islam yang harus menjadi pijakan bagi muslim, jika diruntut maka rukun Islam menurut Syiah; Shalat, Zakat, Puasa, Haji, Wilayah (Imamah).hal ini diperjelas dalam ketetapan:
Ja'fari: Imamah dan Khilafah bagian dari rukun Islam dan lianya berlaku melalui nash”.

Ikhtitam
Dari paparan diatas telah jelas bahwa Syiah memiliki identitas dalam Islam yang sejalan dengan perkembangan Islam, yang hingga sampai detik ini Syiah masih tetap menjadi bagian dari Islam dan bahkan menjadi  sistem resmi pemerintahan Iran. Akhirnya wawasan yang ada semoga menjadi bahan perbandingan dalam mencapai keutuhan dan kebijaksanaan dalam menilai segala sesuatu..
Wallahu a’lam bish-Shawab

Referensi:
Rujukan berbahasa arab
1.         Muhammad Abdul Karim al-Syahrustan “al-Milal wa al-Nihal”, penerbit dar al-Ma’rifah, Beirut, Lubnan.
2.        Abdul qadir bin Thahir al-Baghdadi “al-Farqu baina al-Firaq”, penerbit dar-al Ma’rifah,Beirut, Lubnan.
3.        Mahdi Imbirisy “fii isykaliyat al-Masyru’ wa al-Masyru’ al-Islami”, jilid 2 cetakan pertama, dar al-Multaqa, Beirut, Lubnan
4.        Prof.Dr.Mas’ud Abdullah Khalifah al-Wazni “ ‘awamil dzuhur al-Firaq fi al-Fikr al-Islam” cetakan pertama, jam’iyah al-Dakwah al-Islamiyah, Tripoli, Libya.
5.        Dr. Ali Muhammad al-Shalaby “al-Shira’ baina Ahli al-Sunnah wa al-Rafidhah”, al-maktabah al-‘ashriyah, Beirut, Lubnan.
6.        Abu Ja'afar bin Ya'kub bin Ishak al-Kulaini al-Razi “ al-Usul Min al-Kafi”.
7.        Muhammad bin Muhammad bin Nu'man al-'Askibri al-Baghdadi al-Mulaqqab Bi al-Syeikh al-Mufid “al-lrsyad”.
8.        Dr. Musa al-Musawi “al-Syiah Wa al-Tashih al-Sira' Baina al-Syiah Wa al- Tasyayyu”.
9.        Muhammad Jawad Mughniah “al-Syiah Fi al-Mizan”.
Rujukan berbahasa Indonesia
1.        Prof.Dr. Muhammad Amhazun “ Fitnah Kubro”,cetakan pertama, penerbit LP2SI al-Haramain, Jakarta.
2.        Prof.Dr. H. Asjmuni Abdurrahman “Manhaj Tarjih Muhammadiyah”, cetakan IV, penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Rujukan Internet
1.        www.islam.gov.my/e-rujukanPenjelasan terhadap Fahaman Syiah”.
2.        www.nasution.multiply.com “sekilas tentang Syiah dan pemahamannya”.
3.        www.hakekat.comHakekat tersembunyi Syiah Imamiyah”.
4.        www.abusalma.wordpress.comAbdullah bin Saba’ Tokoh Yahudi “Pencipta” golongan Syiah”.


[1] . buku ini dikarang oleh salah seorang Dosen kuliah dakwah Prof.Dr. Mas’ud Abdullah Khalifah al-Wazni, dan buku  ini sebagai salah satu mata kuliah para  jurusan Dakwah peradaban.
[2] . mayoritas ulama mengelompokan Syiah ke dalam beberapa golongan: 1.Kaisaniyah; Mukhtariyah, Hasyimiyah, Bayaniyah, Razamiyah, 2. Zaidiyah; Jarudiyah, Sulaimaniyah, Shalihiyah,  3. Imamiyah.; Ja’fariyah, Nawusiyah, Isma’iliyah, Itsna ‘asyariyah. sebagian lain ada yang mengelompokkannya kedalam golongan: Sabaiyah, Kamilah, ‘ulbaiyah, Manshuriyah, Khatabiyah, Hasyimiyah, Nashiriyah, Isma’iliyah. 
[3] . dikatakan dekat dengan paham ahlus- sunnah karena terdapat persamaan pada beberapa persepsi seperti akidah yang mereka nyatakan sebagai perhubungan antara keyakinan hati, dan ungkapan lisan, serta aplikasi (organ tubuh) dan menjadikan amalan sebagai buah dari keimanan.
[4] Kelompok Najariyah lebih banyak mengedepankan pemahaman Falsafah dalam penelitian pemikiran dari pada al-Buhira.
3. dinisbatkan dengan Itsna Asyariyah karena mereka berkeyakinan bahwa Imam Syiah ke-duabelas (Muhammad bin Hasan) adalah Imam yang ditunggu kedatangannya menjelang kiamat tiba (al-Mahdi muntadzar)
[6] . diceritakan bahwa imam ke duabelas ini di waktu kecilnya menghilang (minggat) kemudian oleh para pengikut setia beliau menunggu kehadirannya kembali. Itulah karenanya mereka percaya akan datangnya imam mahdi ialah dari keluarga ahlul bait (keluarga Ali.ra dan Fatimah)
[7] . Ibn Saba’ yang dijuliki dengan  “ Ibn Sauda’ “ adalah seorang yahudiyang   hidup di masa kehkalifahan Utsman bin Affan, kehidupannya dibalut dengan spekulatif ke berbagai Negara; Madinah, Irak, Mesir,Syam,dll yang kemudian  menjadi popular dikalangan orang –orang Munafik yang akhirnya menyebarkan isu-isu miring tentang Islam…
[8] .( lihat:  Tarikh Dimasyq nomor 602, dalam terjemahan Abdullah bin Saba’, juga dalam Tahzib Tarikh Dimasyq oleh Ibnu Badran jilid V/428).

[9] . ia adalah salah seorang tokoh besar Syiah, ia menjabarkan pemahaman Syiah dalam kitabnya “ Awail al-Maqalat”
[10] . terdapat beberapa pemikiran dari sector akidah yang tidak sempat  dijabarkan; Pendustaan (at-Taqiyah), Menurut keyakinan Syiah, at-Taqiyyah ialah menyembunyikan sesuatu yang dapat mencelakakan diri atau harta bendanya dengan melakukan kebohongan. Al-Taqiyyah ini diamalkan dalam setiap perkara kecuali di dalam masalah arak dan menyapu dua khuf.
[11] . dalam ketentuannya selama tiga syarat terpenuhi (akad, tempo, dan mahar) maka seorang laki-laki bebas menikah dengan wanita manapun (Yahudi, Nasrani, Majusi), ataupunden gan perempuan pelacur.
[12] . ritual ini dilakukan dengan berbagai bentuk; mensucikan kuburan, meminta doa kepada mayit (tawashal), dan mencium kuburan ulama Syiah.