oleh Fakhrul Islam

Pendahuluan
Sejarah adalah informasi-informasi masa lalu yang didekam dengan tingkat subyektifitas tertentu. dengan sejarah seorang Muslim dapat dengan bijak untuk menilai suatu kejadian. kaitannya dengan sejarah, pasti pembaca dan saya telah bosan mendengarnya, mulai dari tingkat SD sampai perguruan kata “Sejarah” tetap diabadikan sebagai mata pelajaran unggulan yang menjadi pokok dari setiap mata pelajaran lainnya, namun dari sejarah yang telah kita pelajari kita belum sepenuhnya mengetahui tujuan dari sejarah tersebut! sudahkah kita mengambil secerca hikmah dari sejarah Islam? Sudahkah kita bersikap bijak dalam bersikap? Tulisan singkat ini setidaknya dapat membuka pintu sejarah perjalanan Islam dari segi pemikiran keagamaan.

Apabila kita tilik sejarah kehidupan di masa awal periode Islam, lebih tepatnyanya di masa Empat khalifah islamiyah, maka para sejarawan berusaha memberikan gambaran tentang kondisi tersebut[1], sebagian dari mereka mensifati zaman itu dengan zaman stabilitas[2], dan sebagian lainnya menilai dengan penilaian yang bercorak. Kita ambil contoh Nubikhti yang memandang bahwa sesungguhnya Tasyayyu’ (Pengelompokan) telah terjadi tepat setelah Rasul wafat, pendapat itu juga dianut oleh Ibn khaldun, di sana terdapat juga pendapat yang menyatakan bahwa munculnya pengelompokan tersebut muncul di masa khalifah Utsman bin Affan ra yang diawalli dengan munculnya kelompok Khawarij, di lain hal Dr. Mushtafa as-Syaibi mengutarakan bahwa Tasyayyu’ telah ada lebih dulu daripada Islam itu sendiri, yang ketika itu berkedok dalam bentuk Politik yang kemudian menjadi koalisi Islam di masa Rasul, dan mencuatlah penamaan itu di masa khalifah Utsman dan menjadi istilah khusus setelah masa pembunuhan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma.
 
Kita garis bawahi perkara yang menyatakan bahwa pengelompokan telah terjadi sebelum pembunuhan khalifah Utsman ra, kalaupun begitu bukankah di masa sebelum beliau merupakan masa keemasan Islam dan sekaligus masa yang memiliki kekuatan politik, startegi peperangan, dan di masa itu dapat dipastikan belum bermunculan persengketaan madzhab, namun daulah arabaiah ketika itu yang menjadi daulah perdamaian sekaligus sebagai markas (pusat) daulah Islamiah, maka tidak ada sedikit pun faktor terjadinya pengelompokan yang dikamsud. Dan setiap orang pun ketika itu memliki arah pemikiran yang sama, dalam artian belum terjadi keberanakan pendapat yang berakibat pada pengelompokan, sampai mereka tidak berani mentakwil al Quran yang mengakibatkan keluar dari esensi al Quran itu sendiri, hal persatuan tersebut setidaknya menjadi contoh wihdatul ummah “Persatuan Ummat” dan berkumpul dalam ikatan akidah yang satu yang bersih dari perkara bidah dan kharafat, namun dibalik kenyataan sejarah tersebut terdapat bibit-bibit distorsi sejarah yang mengakibatkan munculnya fitnah di kalangan umat Islam, seperti perkara yang mencuat terhadap kekejaman Islam yang dilakoni oleh khalifah Umar.ra dengan sikap keras beliau terhadap kaum yang melanggar syariat (ketika itu pembayaran zakat), dalih mereka terhadap hal tersebut satu Hadis yang diriwaratkan dari Rasul SAW  “ Aku diperintahkan untuk membunuh manusia sampai mereka mengucapkan Syahadat Lailahailla Allah, maka apabila mereka mengucapkannya maka terbebaslah darah dan hartanya kecuali hak yang harus ditunaikan dari keduanya, maka ganjaran mereka di tangan Allah”!

Munculnya Gerakan-gerakan Separatisme
Di dalam sejarah budaya bangsa Arab terkenal dengan istilah “ ar-Ruh al-Fardiyah" atau Jiwa Individualisme, yang hal tersebut menjadi kanun atau undang-undang di masa sebelum Islam. dari tipe jiwa Individualisme ini bangsa Arab memiliki kelembutan hati untuk menyatakan keIslaman mereka secara langsung di hadapan Rasul, masa Rasul merupakan masa-masa penuh persatuan, karena secara langsung Rasul sebagai kepala Negara dalam urusan politik, sebagai Imam dalam urusan agama, sehingga tidak terdapat corak perbedaaan diantara para sahabat ketika itu. Sampai setelah beliau wafat dan kemudian dilanjutkan dengan kekhalifahan Abu Bakar as-Shidiq ra, di awal masa ini mulai bermunculan bibit-bibit gerakan separatisme yang tersusun dalam gerakan regionalisme (kedaerahan) seperti kasus keluarnya sejumlah kaum dari Islam dan pengakuan sebagai Nabi dari sebagian, dan penolakan sebagian yang lain dari menunaikan zakat.

Ahmad Amin dalam hal penolakan bangsa Arab untuk membayar zakat, ia beranggapan bahwa kondisi tersebut tidak menjadikan mereka keluar dari agama dengan dalih karena sesungguhnya Zakat di zaman Rasul diserahkan sepenuhnya untuk Rasul[3], dan syariat tersebut hanya berlaku di masa beliau saja alias tidak ada kewajiaban menunaikan zakat setelah beliau wafat, dan bukan suatu kewajiban untuk menyerahkan zakat tersebut kepada Abu Bakar, karena zakat dalam pandangan budaya Arab sama  halnya dengan upeti atau pajak,
Dari gambaran di atas dapat Kita simpulkan bahwa munculnya gerakan-gerakan separatis merupakan salah satu penyakit yang menjangkiti kesehatan suatu Negara berkembang (Negara Arab ketika itu) “ diceritakan bahwa  khalifah Abu Bakar ra ketika itu mengajak para Sahabat untuk bermusyawarah, maka salah seorang dari mereka berpendapat diadakannya kesepakatan Arab atas segala tuntutan mereka!, dan para sahabat pun meyakinkan opini mereka dengan menyediakan waktu untuk mengumpulkan zakat”.namun dalam kondisi ini tidak terdapat kemurahan hati /pencegahan dari hukum pembunuhan bagi mereka yang keluar dari agama Islam. dan kesepakatan tersebut berlaku bagi mereka yang menolak pembayaran zakat. Dikatakan bahwa: “sesungguhnya khalifah Umar bin Khatab ketika itu ragu untuk menetapkan hukum mati kepada mereka yang menolak pembayaran zakat, dengan pertimbangan bahwa dengan menjadikan hukuman tersebut sebagai ketegasan agama, karena kaum durhaka (mereka yang menolak pembayaran zakat) kondisi mereka tidak terlalu membahayakan dari pada yang lainnya.[4] Sedang sebagian dari para sahabat setuju dengan hukuman mati dendan dalih akan adanya rasa aman dan bebas bagi mereka yang pada akhirnya hanya akan  menyebabkan pelanggaran agama yang semakin membrutal, dan mereka juga mengaitkan ketentraman Negara berkembang akan terganggu dengan adanya kemurahan dan sikap toleransi kita terhadap mereka, dan memang sudah menjadi kewajiban atas mereka untuk menunaikan zakat tersebut”.

Sejarah mencatat bagaimana Islam menghadapi awal udara panas yang tergambar pada harakah riddah (gerakan penolakan) yang terbentuk dalam gerakan regionalisme, kemudian mencul dari gerakan itu beberapa orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi, di antaranya; al-Aswad al-‘anasi (penduduk yaman, dan Musailamah al-Kadzab (penduduk yamamah) yang beraliansi dengan Sajah bin al-Haris at-Tamimiyah yang mengaku sebagai tukang ramal, dan sekelompok dari bani Asad yang mengikuti jejak Thalhah bin khuwailid al-Asadi).[5]
Sepucuk surat yang ditulis oleh khalifah Abu Bakar ra kepada kabilah Arab: “telah sampai kepadaku khabar tentang mereka yang kembali kepada ajarannya setelah Islam (murtad), dan mereka melakukan tipudaya terhadap Allah SWT, serta mereka menjadi pembantu bagi syahwat syetan, dan sesungguhnya Aku telah mengutus tentara kepada kalian dan Aku perintahkan agar tidak membunuh seorang pun di antara kalian sampai dia mengajak kalian kepada agama Allah, maka barangsiapa yang patuh, kemudian berikrar maka itu lebih baik bagi kalian!”.

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa hukuman mati terhadap para penolak zakat tidak serta merta diputuskan, walaupun pada akhirnya khalifah Abu Bakar ra tidak menerima tindakan toleran yang diberikan para tentara kepada para penolak itu. Dan beliau berdalih bahwa apabila peleburan zakat itu diadakan, maka berarti saya meninggalkan image yang jelek kepada para generasi, dan akan terjadi perubahan pedoman asas akidah dengan berjalannya waktu dan di sebabkan perubahan kondisi. Sehingga dari pertimbangan itulah khalifah menetapkan peraturan baku “hukum tidak boleh bertentangan dengan sunah Rasul SAW”.
Setelah terjadi perdamaian antara para shabat dan para penolak, maka terjadilah perubahan sistem katatanegaraan arab yang lebih sempurna , maka mulai terbantang daerah kekuasaan arab yang bermula dari pintu jazirah arabia, yang kemudian di istilahkan dengan Futuhat Islamiyah (Ekspansi Islam).[6]

Tidak lepas dari kondisi tersebut, setelah terjadi keberhasilan para sahabat dan tabiin dalam menyelesaikan perkara yang diusung dalam gerakan penolakan, dan murtad dari Islam,namun tak lama kemudian berkembang kejadian yang heboh yaitu kondisi politik yang sangat mewarnai kondisi di kala itu, politik yang berusaha mengorek krisis yang dialami oleh para sahabat, maka terbentuklah sebuah persatuan, solidaritas, dan persaudaraan, yang berpegang teguh dengan syariat Islam, serta tunduk patuh dengan ketetapan Islam yang mengharamkan darah di antara sesama Muslim yang hal berkesusaian dengan firman Allah:
« ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزآؤه جهنم خلدا فيها وغضب الله عليه ولعنه وأعد له عذابا عظيما» (النساء: 92)
Artinya: Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.( an-Nisa’:93)
Rasul SAW bersabda:لا ترجعوا بعدي كفارا يضرب بعضكم رقاب بعض»   «
Artinya: janganlah kalian kembeli kepada kekufuran setelah masaku yang menjadikan kalian saling bermusuhan.[7]


[1]. Sejarah yang kita maksudkan di sini adalah sejarah perkembanhan agama dan paradigma munculnya kelompok (sekte ke-agamaan)
[2]. Stabilitas yang berarti terjaganya kemurnian masa tersebut dari segala hal bidah dan dan pengelompokan umat
[3] . dalam hal ini Ahmad Amin sepertinya hanya melihat dari satu sisi permasalahan dan meninggalkan permasalahan yang lain, sehingga terkesan seperti adanya Generalisasi dalam menghukumi orang-orang yang keluar dari islam yang disebabkan pembangkangan mereka dalam membayar zakat.
[4] . yaitu  mereka orang-orang  musyrikin yang lebih berbahaya daripada mereka yang menolak pembarayan zakat.
[5] . lihat lebih lanjut di kitab: Tarikh at-Thabari, jilid 3/253,261,267
[6] . lihat: Tarikh shadr al-Islam/ Zainab Abdullah Karir, hal;145
[7] . sunan Abi Daud, dalam “kitab al Sunah, bab: al-Dalil ‘ala ziyadati al-Iman wa nuqsanuhu”