Cerpen: Ellen Febry

Apakah matahari selalu bersinar karena titah Tuhannya? Apakah hujan selalu turun karena Tuhan mengguyurkannya dari langit? Apakah angin selalu bertiup karena nafas Tuhan yang menghembus ke bumi? Tidakkah mungkin matahari bersinar karena ketidakkuasaannya menanggung panas yang membakar dirinya, sehingga ia membaginya pada bumi? Dan hujan yang turun dari langit karena kerinduannya bertemu air sungai? Atau angin yang bertiup karena sepi membuatnya ingin mencumbu dedaunan?
Apakah kematian itu? Ia selalu tidak nyaman jika aku bertanya tentang kematian.
“Bukan untuk dibincangkan” katanya.
“Tapi suatu saat kita pasti mati” sanggahku.
“Sudahlah. Sebaiknya lekas kau habiskan makananmu dan cepat berkemas. Kita harus segera menuju bandara. Kau tidak ingin ketinggalan pesawat bukan?”
Selalu. Ia pasti mengalihkan pembicaraan jika kutanya tentang kematian. Apakah kematian memang tak pantas dijadikan obrolan meja makan? Apakah kematian selalu membuat orang ketakutan sehingga tak mau meskipun hanya sekedar memperbincangkan?
“Kenapa kau selalu bertanya tentang kematian?” tanyanya suatu ketika.
“Karena belum ada satu orangpun yang kutanya memberiku jawaban” jawabku.
“Apa kau pernah bertanya kepada orang yang sudah merasakannya?”
“Itu mustahil. Mana ada orang mati bisa bicara?”
Ia tersenyum. “Jadi apa kesimpulannya?”
Aku terdiam. Dan ia selalu bisa memberiku jawaban cerdas lewat sebuah pertanyaan.
***
Namanya Kemuning. Ia pendiam, kalem, dan tidak banyak tingkah. Aku menjulukinya gadis sunyi. Tiga tahun kami bersahabat, tak banyak yang kutahu darinya selain hobinya membaca buku dan menulis. Kalau sudah melakukan ritual sucinya itu, ia bisa tak keluar kamar berhari-hari. Hanya sesekali ia menyapa pendek ketika tak sengaja kami berpapasan di depan kamar mandi. Ia tak pernah bercerita tentang keluarganya, teman-temannya, masa lalunya, mimpi-mimpinya. Yang kutahu ia adalah penulis novel yang hebat. Beberapa novelnya menjadi best seller dan selalu habis terjual. Cerpen-cerpennya berserakan di majalah dan koran ibu kota. Tapi ia tak mau dikenal orang. Ia selalu menggunakan nama samaran. Berkali-kali diminta mengisi acara bedah novelnya, ia selalu menolak.

 “Sastra itu untuk dinikmati, bukan dikritisi, apalagi diteliti. Saya hanya tidak ingin orang menjadi latah menilai ini baik itu buruk dan melupakan keindahan sastra. Biarlah mereka menikmati karya saya tanpa tendensi apa-apa” jawaban yang selalu sama diberikan kepada penerbit, wartawan, mahasiswa jurusan sastra dan sesiapa yang ingin berkonsultasi padanya.
Pernah aku bekata, “Hidupmu sunyi” disela-sela makan malam kami, suatu ketika. Dan seperti biasa, ia tersenyum. Ia selalu punya berjuta senyuman untuk orang-orang “biasa” sepertiku.
“Sunyi gimana?” tanyanya.
Nah, giliran aku yang kebingungan. Aku memang bukan tipe orang yang seperti dia. Aku berbeda seratus delapan puluh derajat dengannya. Aku periang, suka bercerita, banyak tingkah, dan terkadang ceroboh. Aku memutar otak mencari jawaban yang pas untuk menggambarkan kesunyian hidupnya menurutku.
“Kamu nggak bosan duduk berlama-lama di depan komputer sampai lupa makan dan minum?” Ouwh…pertanyaan bodoh.
“Haha….” Dia tertawa. Jarang sekali kulihat dia tertawa, meskipun hanya sedetik. “Itu hobiku yang menjadi pekerjaan Dewi. Sama seperti kamu yang hobi jalan-jalan hingga kamu memilih menjadi wartawan”.
“Tapi kamu terlalu pendiam Kemuning”. Ia menatapku lama. “Apa kamu tidak merasa hidupmu terlalu sepi jika hanya kau nikmati sendiri?” lanjutku.
“Aku bahagia dengan hidupku. Aku bahagia mempunyai teman yang periang dan perhatian seperti kamu. Aku bahagia karena masih diberi kesempatan Tuhan untuk menulis. Apa kamu merasa tidak nyaman dengan kesunyianku?” ia balik bertanya.
“Aku hanya merasa kesepian” jawabku lirih.
Ia mendekatiku, merangkulku erat dan berbisik pelan “Kamu sahabat terbaikku”.

Ia mengantarku sampai bandara Soekarno-Hatta. Selama perjalanan menuju bandara ia banyak menasehatiku, satu hal yang baru ku temukan sepanjang tiga tahun kami bersahabat.
“Jangan makan yang pedas-pedas, asam dan hindari kopi. Kasihan lambungmu. Jangan pakai baju yang terlalu ketat dan terbuka. Aku dengar orang Afrika suka cewek yang depan belakang menonjol. Kecuali kamu mau ditoel sama mereka. Hahahaha…..” ia tertawa lepas. Aku pun begitu, meski aku merasa aneh dengan sikapnya hari ini. Tapi aku menikmati saat-saat terakhir kebersamaan kami. Beberapa jam lagi aku akan terbang meninggalkannya. Bersama seorang kawan kameramen aku mendapat tugas dari kantor untuk meliput piala dunia 2010 yang akan berlangsung di Afrika Selatan. Meski piala dunia masih beberapa bulan lagi, pihak kantor ingin kami memantau persiapan-persiapan negara Nelson Mandela itu jauhari sebelumnya.
Kami sampai di terminal D pintu 2 bandara internasional Soekarno-Hatta. Di depan parkiran kami bertemu Tyo, sang kameramen. Ia sendirian, tak diantar teman maupun keluarganya. Memang ia pendatang di Jakarta. Semua familinya di Padang.
“Titip Dewi ya Yo…” pesan Kemuning pada Tyo setelah mereka berkenalan singkat.
“Apaan sih Ning….kayak aku anak kecil aja” gerutuku.
“Sudahlah. Kamu juga harus jaga diri baik-baik. Ingat pesan-pesanku tadi ya. Dan jangan lupa sholat. Kita tidak pernah tahu kapan ajal tiba”.
Deg! Aku tersentak. Kemuning bicara kematian. Satu hal yang tidak pernah mau ia bicarakan denganku, tiba-tiba kata itu terlontar begitu saja dari bibirnya. Tapi segera kutepis pikiran-pikiran buruk yang mendadak berseliweran. Aku bukan orang yang percaya tahayul. Wajar kan seorang sahabat menasehatiku untuk menjaga sholat yang memang sering kuabaikan karena alasan pekerjaan menuntutku untuk bergerak cepat mengejar berita.
Kami berpelukan cukup lama. Aku merasakan hangatnya pelukan seorang sahabat yang mencintaiku setulus hatinya. Ah, Kemuning. Andai kau tak sesunyi ini aku pasti mengenalmu lebih baik dan mencintaimu lebih sempurna. Seperti cinta matahari kepada bumi, hujan kepada sungai, dan angin pada dedaunan.

[Kemuning, aku dan Tyo lagi jalan-jalan di Cape Town nih. Serasa di ujung dunia hehe. Bohong banget kalo ada yang bilang orang Afrika terbelakang. Kamu tahu gedung-gedung disini pencakar langit dilengkapi sistem keamanan otomatis yang dikendalikan komputer. Kemarin kami ke Table Mountain, lihat Cape Town dari atas. Indah…banget Ning. Kayak lihat surga]
Sms pertama yang dikirim Dewi dari Afrika Selatan setelah seminggu masa tugasnya disana. Aku tersenyum membacanya. Hatiku tenang sekarang. Akhirnya anak itu memberi kabar. Meskipun dalam hati aku merasakan ada sesuatu yang tidak biasa, tapi segera kutepis perasaan itu. Dewi akan dan selalu baik-baik saja. Semoga.


Mingu-minggu ini aku disibukkan dengan penelitian karya-karya HB. Jassin, sang paus sastra Indonesia. Ah, seandainya ini bukan tugas kuliah, aku lebih suka menikmati karya-karyanya yang mengalir indah daripada harus berkutat dengan teori-teori sastra yang mengikat. Bagiku sastra adalah seni yang hanya bisa dinikmati dengan keindahan. Dan indah adalah esensi yang berdiri sendiri tanpa butuh indera dan rasa untuk mengapresiasinya. Dicaci ataupun dipuji, indah tetaplah indah.
Prang! Ouwh…tanganku tak sengaja menyenggol bingkai foto yang kupajang di meja kerjaku saat hendak mengambil segelas coklat dingin kesukaanku. Kupunguti pecahan kaca bingkai ukir berwarna kuning keemasan yang kini hancur berkeping-keping. Kupandangi foto yang ada dihapanku lama. Foto itu diambil setahun yang lalu saat aku dan Dewi berlibur ke Tangkuban Prahu. Ia merangkulku sambil mulutnya dimonyongkan ke arah kamera. Sedangkan aku hanya tersenyum simpul seperti biasa. Pose yang sangat kontras dari dua orang sahabat yang mempunyai karakter bagai langit dan bumi. Apa aku memang sesunyi yang Dewi katakan? Apa sesungguhnya sunyi itu?
Aku teringat Dewi. Aku kangen tawanya yang menggelegar. Aku rindu isakan tangisnya saat bercerita tentang Tyo, sang kameramen yang diam-diam ditaksirnya sejak pertama kali mereka bertemu di kantor. Meskipun ia orang yang terbuka pada siapa saja, tapi tidak untuk urusan cinta. Ia hanya mau bercerita padaku. Sudah berkali-kali kukatakan padanya “Sampaikan saja perasaanmu pada Tyo. Daripada kamu terus memendamnya dan cemburu setiap kali Tyo pergi berdua dengan gadis-gadis direksi kantormu yang kegenitan itu. “
“Aku malu Kemuning. Masa aku yang nembak duluan?”
“Daripada kamu uring-uringan terus?”
“Lagian si Tyo kayaknya nggak nangkap sinyalku. Dia cuek aja tuh, dan menganggapku hanya sebagai teman” ujarnya.
Ah, Dewi. Sedang apa ya dia sekarang? Aku mengambil HP Nokia N70 yang terselip diantara tumpukan-tumpukan kertas tugas makalah, penelitian, deadline cerpen yang harus kusetorkan untuk majalah A, koran B dan jurnal C. Kuliah di jurusan sastra membuatku akrab dengan berbagai merek, jenis dan ukuran kertas. Mungkin itu satu persamaan  mahasiswa sastra dan tukang fotokopi.
[Wi, apa kabar? Sedang apa disana? Gimana laporan persiapan piala dunianya?]
Kukirim sms singkat itu. Terkirim.
Beberapa menit kemudian HP-ku bergetar. Ada sms masuk.
[Sunyiiii…aku kangen kamu. Kirain udah lupa sama aku. Aku baik Alhamdulillah. Aku diundang tanteku yang tinggal di Belanda menghadiri perkawinan anaknya. Dia itu sepupu yang paling deket sama aku. Sekalian ada seminar pers sedunia katanya. Mungkin sekitar dua minggu disana. Besok aku terbang ke Belanda Ning. Oiya, aku udah rajin sholat lho..aku juga udah jadian sama Tyo. Hehe]
***

Pesawat jatuh, 100 lebih tewas
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2010/05/100512_pesawatjatuh.shtml

Satu pesawat komersial jatuh di bandar udara Tripoli, Libia, menewaskan lebih dari 100 orang di dalamnya, demikian dikatakan para pejabat bandar udara Libia.
Pesawat milik Afriqiyah Airways yang terbang dari Johannesburg itu menurut jadwal akan mendarat pukul 06.10 waktu setempat.
Namun pihak Afriqiyah mengatakan pesawat jatuh ketika sedang mencoba mendarat di bandara.
Paling tidak 93 penumpang dan 11 awak pesawat berada di dalam pesawar jenis Airbus 330 itu.
Mereka diduga berasal dari berbagai negara, termasuk warga Inggris dan Afrika Selatan.
Kesebelas awak pesawat diperkirakan warga negara Libia.
Seorang menteri Libia mengatakan satu-satunya penumpang yang selamat adalah seorang anak warga negara Belanda.
Kementrian Luar Negeri Belanda sudah mengkonfirmasi bahwa sejumlah warganya berada dalam pesawat tersebut.
Sebagian penumpang dalam pesawat tadinya direncanakan akan menyambung penerbangan mereka ke Eropa.
Di situs resmi perusahaan penerbangan itu Afriqiyah Airways mengatakan bahwa penerbangan nomor 8U771 imengalami kecelakaan saat sedang mendarat di bandara Tripoli.
Berkeping-keping
Televisi pemerintah Libia menunjukkan gambar video lapangan terbuka yang penuh dengan puing-puing pesawat yang berserakan.
Polisi dan petugas penyelamat yang mengenakan masker dan sarung tangan memeriksa puing-puing untuk mencari korban selamat.
Penyebab kecelakaan masih belum diketahui. Sejumlah laporan mengatakan pesawat itu jatuh ketika sudah sangat dekat dengan landasan pacu.
"Pesawat meledak ketika sedang mendarat dan hancur berkeping-keping," kata seorang petugas keamanan Libia kepada kantor berita AFP.
Wartawan BBC di Tripoli, Rana Jawad, melaporkan bandara sekarang ditutup dan mobil-mobil ambulans tampak datang dan pergi ke bandara.
Wartawan kami menambahkan bahwa cuaca di Tripoli cerah dalam beberapa hari terakhir.
Maskapai penerbangan Afriqiyah Airways didirikan pada tahun 2001.

***
Apakah kematian itu?
Langit Tripoli yang menguning sore ini tahu jawabannya.