oleh Fakhrul Islam

Rahasia Pemikiran Orientalisme
Jika ditilik secara mendalam, nyatalah  bahwa pemikiran orientalisme membawa misi besar Ideologi barat yang pada waktu itu dapat dikatakan sebagai baju peradaban bagi sebagian orang!

Upaya Orientalisme dilancarkan dalam bentuk obyektifitas, saintisme, dan kebebasan dalam mewujudkan motif mereka. Meskipun demikian telah nyata dan dapat dirasakan adanya keadaan dan ke-eksistensian pemikiran mereka. Hanya saja keberadaannya hanya bersifat terbatas dan ke-eksisitensiannya yang rendah lagi hina. Tak dapat diterima banyak orang! Terlebih lagi umat Islam Timur! Sehingga mayoritas missioner pemikiran itu berakhir pada kesimpulan satu diantara dua; adakalanya mereka simpati dengan Islam dan Muslim, atau pernyataan afiliasi mereka kepada Islam!

Dalam studi Islam dan Peradaban, metode pemikiran orientalisme terhadap tafsir al Quran merupakan pembahasan yang intens, karena  pembahasan tentang metode ini sangat berkaitan erat dengan akar pemikiran orientalisme dalam bentuk khusus.

Rahasia Metode orientalisme terhadap tafsir al Quran
Berapa banyak karya-karya orientalisme tentang studi al Quran!, hal tersebut merupakan salah satu bentuk perhatian penuh mereka terhadap al Quran, namun perhatian tersebut tidak diiringi dengan konsep kebenaran, akan tetapi motif mereka hanyalah ingin melukai kemurnian al Quran dengan pensifatan yang tidak layak terhadap al Quran.
Sesungguhnya Orientalis telah menginterpretasikan al Quran kedalam banyak bahasa barat, disatu sisi interpretasi tersebut jauh dari nash arab (tulisan arab), dan disisi lain juga bernotasi kritikan dan visualisasi terhadap nash al Quran. Seperti halnya mereka juga menyusun kerangka yang berkaitan dengan al Quran, rasm Quran, dan juga tafsir Quran…



Rahasia metode Orientalis terhadap tafsir al Quran terurai pada empat pembahasan intens:
1.                 Masdar al Quran (sumber keautentikan al Quran)
2.                 Muhtawa al Quran (Esensi kandungan al Quran)
3.                 Tarikh al Quran (sejarah pembukuan al Quran)
4.                 Lughah al Quran (dialektika al Quran)
Dalam studi al Quran, pemikiran orientalisme berangkat dengan prinsip humanity al Quran (al Quran adalah hasil karya manusia), sampai pada kesimpulan bahwa sumber keautentikan al Quran bukan dari wahyu Ilahi! Sehingga hampir mayoritas pendapat-pendapat yang bersumber dari para orientalisme menguraikan tentang sumber al Quran yang berakar pada dua faktor:
Pertama: Faktor Internal yang mencakup tata letak geografis bangsa Arab, kehidupan social agama, dan kebudayaan di saat al Quran muncul.
Kedua: Faktor Eksternal yang mencakup  agama yahudi, Nasrani, kerukunan agama, serta adat istiadat umat lain.


1.   Faktor Internal
     
      Sesungguhnya sebagian orintelis[1] ada yang beranggapan bahwa 
      pembentukan autentik al Quran sangat berkaitan dengan unsur geografis
      pada waktu itu. Mekah yang dikelilingi oleh gegurun pasir, dan pengaruh antara
      kondisi di Mekah dengan Madinah, sehingga dialektika al Quran yang turun
     di Mekah memiliki keistimewaan tersendiri, pun dengan yang turun di Madinah.

Orientalis “Jubb”[2] berkata: “sesungguhnya “Muhammad” adalah selayaknya tokoh yang diagungkan, disatu sisi dia berusaha memenuhi berbagai kebutuhan pokok eksternal umat disekelilingnya, dan disisi lain dia membangun system kehidupan baru yang menggabungkan antara keyakinan-keyakinan yang mendominasi di kala itu dengan perkembangan hidup yang dia alami!”
Sehingga dari situ timbullah impressi atas kesuksesannya dalam membangun Mekah. Dan berangkat dari Mekah itulah akhirnya Muhammad dijadikan sebagai tokoh bagi para pengikutnya.
Orientalis jerman pernah berkata: “sesungguhnya kehadiran Islam bukanlah dalam premis agama, melainkan bentuk usaha rekonstruksi sosial yang bertujuan memperbaiki kondisi masyarakat dan menghapus perbedaan taraf kesejahteraan antara si kaya dan miskin  dengan propaganda saling kasih, tolong  menolong dan memberi bantuan kepada siapa saja yang memerlukan, kemudian dia juga menggunakan konsep Hisab (Ganjaran dan pahala) di akhirat kelak demi memperkuat tujuan dakwahnya”.
Persepsi orientalis tentang pengaruh kondisi masyarakat terhadap al Quran merupakan salah satu bentuk kebohongan dan penipuan yang didasari pada sikap panatik dan kebodohan.

Barangsiapa yang membaca[3] al Quran dengan tanpa dilandasi pada kemauan akal dan dengan keyakinan tertentu, maka dia akan meyakini sepenuhnya bahwa al Quran bukanlah wahyu environmental (hasil dari pembentukan lingkungan bangsa Arab), akan tetapi al Quran adalah wahyu Ilahi (wahyu yang bersumber dari dzat yang maha kuasa). Sedangkan trial guna menghanguskan sifat wahyu Ilahi dari al Quran adalah bentuk ketidak mungkinan yang dapat dijadikan sebagai langkah pembebasan dari prasangka buruk mereka terhadap al  Quran.

Sungguh prasangka Orientalis tentang keterpengaruhan al Quran terhadap kondisi sosial Mekah waktu itu dijadikan sebagai penguat dalih terhadap propaganda mereka bahwa al Quran adalah karya manusia dan bukan wahyu Ilahi. Hal ini menandakan bahwa ajaran al Quran hanya bersifat lokal (masyarakat Mekah) dan tidak cocok bagi masyarakat lain. Sampai pada kesimpulan bahwa dakwah yang di emban oleh Muhammad hanya bersifat lokal non-universal dan al Quran secara otomatis bukan sebagai penyempurna bagi kitab-kitab  sebelumnya.
Anggapan lain tentang al Quran bersumber dari Manusia adalah adanya diferensi (perbedaan) antara ayat makiah dan madaniah[4], dan ini jelas prasangka yang salah. Dapat diyakini bahwa al Quran baik itu makki atau madani tidak terdapat perbedaan diantara keduanya. Baik dari segi I’jaz[5] ayat-ayat al Quran sangat jelas dan akurat , dan keduanya sama dalam hal tandingan dan konfrontasi terhadap orang musyrik agar mendatangkan yang semisal dengan al Quran.
Dalam demikian perbedaan antara makki dan madani tidak ada kaitannya dengan kondisi lingkungan masyarakat arab, namun perbedaan yang dimaksud berupa fakta dan keadaan yang sedang dialami oleh mereka. Sehingga ayat yang turun di masa periode mekah mayoritas bersifat pengukuhan prinsip-prinsip akidah, dan pembebasan manusia dari kesyirikan dan kebodohan paganisme (para pemuja berhala), sedang ayat yang turun di masa periode madinah mayoritas bersifat pengukuhan hukum syariat, kewajiban, baik berupa Ibadah, muamalah, sampai pada pensyariatan Jihad, sehingga terdapat perbedaan dalam penggunaan uslub (keindahan bahasa) dari segi panjang pendeknya ayat, namun dari segi balaghah dan I’jaz tidak terdapat perbedaan diantaranya! Bahkan derajat kefasihannya juga sejajar.

Sebagian lain dari Orientalis juga beranggapan bahwa sumber utama al Quran adalah syair (puisi umaiyah[6] bin abi shalt) dengan alasan adanya kesamaan persepsi antara dakwah Rasul dengan puisi tersebut  dalam pengesaan Tuhan, dan pensifatan terhadap kehidupan akhirat, serta kisah para Nabi arab yang datang sebelumnya. Dari sini orientalis beranggapan bahwa kaum muslimin telah menghapus syair-syair umaiyah dan melarang membacanya, agar al Quran sebagai pembaru, dan Muhammad sebagai satu-satunya Nabi yang mendapat wahyu Ilahi.

Sangkaan diatas tidaklah benar, Rasulullah tidak pernah menyerang syair umaiyah, dan kaum muslimin pun tidak pernah memerangi syair tersebut dan menjadikan al Quran sebagai satu-satunya sampel yang benar adanya! Kalaupun perkara yang dianggap oleh orientalis tersebut benar, kenapa tidak ada sangkalan ataupun tuduhan dari para pemuka quraisy pada waktu itu kepada Rasul! Bukankah mereka lebih tahu dan mengerti kondisi nyata Rasul?
Dan mereka lebih teliti dalam hal dalih walaupun banyak kecacatan!.

Diantara orientalis juga beranggapan bahwa sumber keautentikan al Quran adalah para Hunafa (mereka adalah suatu kelompok yang meyakini keesaan Tuhan dan tidak menyembah berhala), namun golongan tersebut menurut mereka hanya berjumlah sedikit sebelum masa kenabian, dan akidah mereka banyak diselimuti oleh keganduhan dan ketidak jelasan terhadap apa yang mereka yakini (tauhidullah), sedang mereka tidak memiliki gambaran jelas tentang hukum syariat serta aturan hidup.

Sesungguhnya anggapan diatas muncul dari para penyembah berhala kebodohan dan penyesatan, namun mereka tidak mampu menghadirkan pengganti yang dapat membebaskan mereka dari kegelapan menuju cahaya (kebenaran) , sehingga muncullah ketidak mungkinan amalan mereka (jahiliah) dijadikan sebagai sumber al Quran yang sarat dengan ajaran Islam jelas dan tidak terdapat sedikitpun keraguan atasnya.
Sehingga berakhir pada kesimpulan bahwa para orientalis menciptakan propaganda terhadap al Quran dengan menyatakan bahwa sumber keautentikan al Quran adalah manusia (Muhammad) serta kondisi geografis yang mempengaruhi tatanan hidupnya.

2.                 Faktor Eksternal

Para orientalis beranggapan bahwa hukum syariat serta doktrin agama yang tertera dalam al Quran pada dasarnya adalah cuplikan hikmah, pelajaran, dan peringatan, serta prinsip agama (perintah, larangan, kisah Nabi) yang tertera didalam kitab Taurat dan Injil serta kitab-kitab sebelum al Quran.[7] Orientalis menjadikan itu semua sebagai dalih akan adanya faktor eksternal dengan adanya keterkaitan  hubungan antara al Quran dengan kitab-kitab sebelumnya, begitu juga  keterkaitan hubungan Muhammad dengan sebagaian pendeta baik sewaktu kepergian beliau ke Syam, atau ketika di Mekah dan sekitarnya, dan begitu pun saat di yatsrib (baca: Madinah), kemudian dia belajar banyak dari para pendeta tentang hukum agama, serta kandungan dogma yang terdapat di dalam kitab Taurat dan Injil. Kemudian dia “Muhammad” memilih sebagian kaidah agama (Syariat) dari taurat dan Injil yang kemudian dia tuliskan dalam karangan baru (al Quran) dan berakhir pada pernyataan dia bahwa semua yang dia tulis berasal dari wahyu Ilahi…

Perserupaan yang ada mereka jadikan sebagai dalih bahwa sumber al Quran adalah (Taurat dan Injil) serta kitab-kitab sebelum al Quran,
Sebagai seorang Muslim percaya bahwa: al Quran dan kitab-kitab lainnya berakar pada satu sumber, namun al Quran memiliki keistimewaan tersendiri serta terjaga dari perubahan dan dari penyelewengan, namun para orientalis menganggap bahwa sumber yang sama berarti al Quran merupakan hasil dari persalinan dan pemindahan dari kitab-kitab sebelum al Quran.

Sedang keterkaitan hubungan antara Muhammad dengan para pendeta, dalam  sejarah tidak pernah tercatat bahwa Nabi duduk belajar dengan pendeta atau sebelum beliau diutus pernah pergi ke tempat pertapaan mereka dan belajar ilmu dari mereka, tidak pernah!
Kalaupun ada sebagian riwayat yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad pernah berjumpa dengan salah satu pendeta dalam perjalanan beliau ke syam bersama paman beliau Abu thalib. Namun riwayat tersebut tidak menceritakan pendeta tersebuut memberikan pengajaran kepada beliau tentang ajaran Taurat dan Injil (Bibel) kepada Muhammad. Namun pendeta tersebut hanya memperingati Abu thalib agar menjaga Muhammad dari orang yahudi, karena jika mereka tahu tentangnya maka mereka akan membunuhnya!
Dan juga umur beliau saat bertemu dengan pendeta “Buhaira” tidak kurang dari 12 tahun, dan dalam kondisi ini seseorang tidak mudah untuk mempelajari perihal ganda (perbedaan agama).

Para Orientalis telah bersepakat bahwa wahyu Ilahi bukanlah sumber keautentikan al Quran, hal ini dalam studi al Quran mereka masih berpegang pada keyakinan lama bahwa al Quran bersumber dari tangan manusia dan propaganda Muhammad dalam dakwahnya, sehingga pada akhirnya mereka tidak mendapatkan hasil yang sempurna dan benar. Sebagian ada yang menggunakan metode ilmiah, namun mereka tetap saja terbelenggu dengan keyakinan mereka serta hawa nafsu mereka.
Jikalau mereka mengambil langkah dengan metode ilmiah, secara otomatis mereka akan meyakini bahwa al Quran bukan dari manusia! Dan Muhammad tidak pernah mendatangkannya. Jika al Quran bersumber dari manusia bagaimana mungkin Rasul ditegur oleh al Quran; «tidaklah pantas bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya dibumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat untukmu. Allah maha perkasa, maha bijaksana.. sekiranya tidak ada ketetapan terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar (tebusan) yang kamu ambil» (al Anfal:67-68).

Dalam ayat tersebut Rasul mendapat teguran dan peringatan dari Allah, karena beliau menerima fidaa (tebusan) dari tawanan sewaktu perang badar, beliau melakukan hal itu demi menciptakan rasa kasih sayang kepada para tawanan, namun dari pada itu Allah SWT menegurnya dengan teguran yang adil dan bijak.
Dilain waktu beliau pernah mendapat teguran dari Allah karena telah memberi izin kepada para munafik untuk tidak pergi perang tabuk, dalam firmanNya:«Allah memafkanmu (Muhammad). Mengapa engkau memberi izin kepada orang munafik untuk tidak pergi berperang, sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar-benar (berhalangan) dan sebelum engkau mengetahui orang-orang yang berdusta?» (at Taubah:43).
Sehingga al Quran dengan segala yang bersifat ilmiah, serta persoalan ghaib yang dapat menghapus sifat kemanusiaan terhadap al Quran, dan hal itu telah dibuktikan oleh mereka yang bener-benar mempelajari ajaran al Quran dengan sempurna!.

Dapat dipetik kesimpulan bahwa: rahasia metode Orientalisme terhadap tafsir al Quran adalah watak mereka yang tetap meyakini bahwa al Quran merupakan hasil karya tangan Manusia, dan sumber keautentikannya berakar pada faktor internal (Peradaban arab), dan propaganda barat yang diistilahkan dengan “peradaban laut tengah” yang tak lain bertujuan untuk menjadikan bangsa Arab sebagai pusat peradaban prancis (barat).

Wallahu a’lam bisshawab


[1] Lihat: Tamhid litarikhil falsafatil  Islamiah / Mustafa abdur razaq
[2] Lihat: dzahiratul Istisyraqiah wa atsaruha ‘alad dirasatil  Islamiah
[3] Membaca yang berarti memahami dan mentadaburi kandungan setiap ayat yang dibaca.
[4] Ayat makiyah yang turun sebelum hijrah, dan madaniah yang turun setelah hijrah baik turunnya ayat di madinah ataupun di mekah (madkhalud dirasatil Quraniyah/ DR. saih ali Husain)
[5] Al I’jaz bermakna sesuatu yang dapat melemahkan tandingannya, sedang I’jazul Quran: keistimewaan al Quran dibandingkan dengan yang lainnya. (ta’rifat / Ali bin Muhammad bin Ali al Jurjani)
[6] Umaiyah bin shalt adalah puitis mukhadhram (yang hidup di dua masa jahiliyah dan islamiah), dia memberitakan bahwa akan diutus seorang Nabi yang menjadi penaung dizamannya, dan saya berkeinginan menjadi utusan tersebut. Ketika diutus Rasul Muhammad kepada mereka, umaiyah  mengingkari kenabian beliau, sampai pada saat beliau mendengarkan syair umaiyah, Rasul bergumam: lisannya percaya, tapi hatinya ingkar! (Umaiyah bin shalt/Bahjat abdul ghafar)
[7] Lihat: ad dzahiriyatul istisyraqiyah